{وَآيَةٌ  لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ (37)  وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ  (38) وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ  (39) لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ  سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (40) }
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam;  Kami tinggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada  dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah  ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi  bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang  terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin  bagi matahari mendapatkan bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan  masing-masing beredar pada garis edarnya.
Allah Swt. berfirman bahwa di antara tanda-tanda yang menunjukkan  kekuasaan-Nya yang besar ialah malam dan siang hari yang diciptakan-Nya; malam  hari dengan kegelapannya, dan siang hari dengan terangnya. Dia menjadikan  keduanya silih berganti; bila yang satu datang maka yang lainnya pergi, demikian  pula sebaliknya. Seperti yang disebutkan dalam ayat lainnya:
{يُغْشِي  اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا}
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.  (Al-A'raf: 54)
Karena itulah disebutkan dalam surat ini oleh firman-Nya:
{وَآيَةٌ  لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ}
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah  malam; Kami tinggalkan siang dari malam itu. (Yasin: 37)
Yakni Kami sudahi siang dengan malam hari, maka siang hari pergi dan  datanglah malam hari. Untuk itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan:
{فَإِذَا  هُمْ مُظْلِمُونَ}
maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. (Yasin: 37)
Sebagaimana yang disebutkan di dalam suatu hadis yang mengatakan:
"إِذَا  أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا،  وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ"
Apabila malam hari tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah ini,  dan mentari terbenam, maka waktu berbuka bagi orang yang berpuasa telah tiba.  
Demikianlah makna lahiriah ayat, tetapi Qatadah menduga bahwa ayat ini  semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{يُولِجُ  اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ}
Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang  ke dalam malam. (Al-Hajj: 61) 
Ibnu Jarir menilai bahwa pendapat Qatadah ini lemah dalam kasus ayat ini.  Lalu Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya makna ilaj itu ialah mengambil  dari salah satunya, lalu diberikan kepada yang lainnya, sedangkan pengertian ini  bukanlah makna yang dimaksud dalam ayat ini. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir  ini benar. 
********
Firman Allah Swt.:
{وَالشَّمْسُ  تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ  الْعَلِيمِ}
dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang  Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Yasin: 38)
Sehubungan dengan makna kalimat 'limustaqarril laha', ada dua  pendapat.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa makna yang dimaksud mustaqarril  laha ialah tempat menetapnya matahari, yaitu di bawah 'Arasy yang letaknya  berhadapan dengan letak bumi bila dilihat dari arah 'Arasy. Dengan kata lain, di  mana pun matahari berada, ia tetap berada di bawah 'Arasy; demikian pula semua  makhluk lainnya, mengingat 'Arasy merupakan atap bagi kesemuanya. Bentuk 'Arasy  itu bukan bulat, tidak seperti yang disangka oleh para ahli ilmu ukur dan  bentuk. Sesungguhnya ia berbentuk seperti kubah yang mempunyai tiang-tiang,  dipikul oleh para malaikat; letak 'Arasy berada di atas semesta alam, yakni  berada di atas semua manusia. Matahari itu apabila berada di tengah kubah falak  di waktu lohor, maka saat itulah mentari berada paling dekat dengan 'Arasy. Dan  apabila berputar di garis edarnya hingga letaknya berlawanan dengan kedudukan  tersebut, yaitu bila berada di tengah malam, maka mentari berada di tempat yang  paling jauh dengan 'Arasy. Pada saat itulah mentari bersujud dan meminta izin  untuk terbit lagi, sebagaimana yang disebutkan di dalam banyak hadis.
قَالَ  الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْم، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشِ، عَنْ  إِبْرَاهِيمَ [التَّيْمِيِّ] ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ  عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي  الْمَسْجِدِ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَتَدْرِي  أَيْنَ تغربُ الشَّمْسُ؟ " قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ:  "فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ:  {وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}  .
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah  menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari  Abu Zar r.a. yang mengatakan bahwa ketika ia sedang bersama Nabi Saw. di dalam  masjid bertepatan dengan waktu tenggelamnya mentari, maka Nabi Saw. bertanya,  "Hai Abu Zar, tahukah kamu ke manakah mentari itu terbenam?" Abu Zar  menjawab.”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda:  Sesungguhnya mentari itu pergi hingga sujud di bawah 'Arasy. Yang demikian  itu dijelaskan oleh firman-Nya, "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.  Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)  
حَدَّثَنَا  عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ الحُميديّ، حَدَّثَنَا وَكِيع عَنِ الْأَعْمَشِ،  عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: سَأَلَتُ رَسُولَ  اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِهِ: {وَالشَّمْسُ تَجْرِي  لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا} ، قَالَ: "مُسْتَقَرُّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ".
Telah menceritakan pula kepada kami Abdullah ibnuz Zubair Al-Humaidi, telah  menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-A'masy dari  Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dan Abu Zar r.a. yang menceritakan bahwa ia  pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makna firman-Nya: dan matahari  berjalan di tempat peredarannya. (Yasin: 38) Maka beliau bersabda: Tempat  menetapnya matahari itu di bawah 'Arasy.
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan dalam bab ini. Ia pun telah  mengetengahkannya di berbagai tempat yang lain. Hadis ini diriwayatkan oleh  Jamaah lainnya kecuali Ibnu Majah melalui berbagai jalur dan Al-A'masy dengan  lafaz yang sama.
قَالَ  الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشِ،  عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: كُنْتُ  مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ حِينَ  وَجَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَتَدْرِي أَيْنَ تَذْهَبُ  الشَّمْسُ؟ " قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّهَا تذهب حتى  تسجد بين يدي رَبِّهَا  عَزَّ وَجَلَّ، فَتَسْتَأْذِنُ فِي الرُّجُوعِ فَيُؤْذَنُ لَهَا، وَكَأَنَّهَا قَدْ  قِيلَ لَهَا: ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ. فَتَرْجِعُ إِلَى مَطْلَعِهَا، وَذَلِكَ  مُسْتَقَرُّهَا، ثُمَّ قَرَأَ: {وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ  لَهَا}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid,  dari Al-A'masy, dari Ibrahim At-Taimi dan ayahnya, dari Abu Zar yang  menceritakan bahwa ketika ia sedang bersama Rasulullah Saw. di dalam masjid saat  mentari sedang tenggelam, maka beliau Saw. bersabda, "Hai Abu Zar, tahukah  kamu ke manakah mentari ini pergi?" Abu Zar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya  lebih mengetahui." Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya mentari itu pergi  hingga bersujud di hadapan Tuhannya, lalu meminta izin untuk kembali, maka  diberikan izin baginya-dan seakan-akan pasti akan dikatakan kepadanya Kembalilah  kamu dari arah kamu datang'- lalu ia kembali ke tempat terbitnya, di tempat ia  bersujud itulah tempat tinggalnya. Kemudian Rasulullah Saw. membaca  firman-Nya: dan matahari berjalan di tempat peredarannya. (Yasin: 38)  (Yakni menuju tempat menetapnya, pent, sesuai dengan makna hadis)
قَالَ  سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ  أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي ذَرٍّ حِينَ غَرَبَتِ الشَّمْسُ:  "أَتَدْرِي أَيْنَ هَذَا؟ " قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ:  "فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَسْتَأْذِنُ فَيُؤْذِنُ  لَهَا، وَيُوشِكُ أَنْ تَسْجُدَ فَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا، وَتَسْتَأْذِنُ فَلَا  يُؤْذَنُ لَهَا، وَيُقَالُ لَهَا: ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ. فَتَطْلُعُ مِنْ  مَغْرِبِهَا، فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ  تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}
Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa ia telah meriwayatkan dari Al Amasy, dari  Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Zar ra yang menceritakan bahwa  Rasulullah Saw. bersabda kepadanya di saat mentari sedang terbenam, "Hai Abu  Zar, tahukah kamu ke manakah mentari ini pergi ? abu Dzar menjawab “Allah  dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Rasulullah bersabda : Sesungguhnya mentari  itu pergi hingga sujud di bawah 'Arasy lalu meminta izin dan diberikan izin  baginya (untuk terbit lagi), dan sudah dekat waktunya mentari bersujud  (untuk meminta izin), lalu tidak diterima; dan mentari minta izin lagi,  tetapi tetap tidak diterima. Lalu dikatakan kepadanya, "Kembalilah kamu dari  tempat tenggelammu.” Maka mentari terbit dari tempat tenggelamnya. Yang demikian  itu disebutkan oleh firman-Nya, "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.  Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin:  38)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abu  Ishaq, dari Wahb ibnu Jabir, dari Abdullah ibnu Amr r.a. yang mengatakan  sehubungan dengan makna firman-Nya: dan matahari berjalan di tempat  peredarannya. (Yasin: 38) Bahwa sesungguhnya matahari itu terbit, lalu  dikembalikan (menjadi terbit kembali setelah tenggelam) oleh dosa-dosa anak  Adam; hingga apabila terbenam, maka ia berserah diri, bersujud, dan memohon izin  kepada Tuhannya untuk terbit lagi. Dan akan tiba masanya di suatu hari ia  tenggelam, lalu berserah diri, bersujud dan meminta izin, tetapi tidak diizinkan  baginya untuk terbit. Lalu mentari berkata, "Sesungguhnya perjalanan itu jauh;  dan jika aku tidak diberi izin, pasti aku tidak mampu menempuhnya." Lalu ia  ditahan selama masa yang dikehendaki oleh Allah untuk menahannya, kemudian  dikatakan kepadanya, "Kembalilah kamu ke tempat kamu tenggelam."
Ibnu Amr r.a. mengatakan bahwa sejak hari itu hingga hari kiamat tidak  bermanfaat lagi bagi seseorang imannya bila ia tidak beriman sebelumnya, atau  dalam masa imannya dia belum pernah mengusahakan suatu kebaikan pun. 
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan mustaqarril laha  ialah titik akhir perjalanannya, puncak perjalanannya yang paling tinggi di  langit, yaitu di musim panas; kemudian jarak perjalanannya yang paling bawah,  yaitu di musim dingin.
Pendapat yang kedua, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan  mustaqarril laha ialah batas terakhir perjalanannya, yaitu pada hari  kiamat nanti perjalanannya terhenti dan diam tidak bergerak lagi, serta di  gulung (dipadamkan), maka alam semesta ini telah mencapai usianya yang paling  maksimal. Berdasarkan pengertian ini, berarti yang dimaksud dengan mustaqar  ialah berkaitan dengan zaman dan waktu, bukan dengan tempat seperti yang ada  pada pendapat pertama.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, Limustaqarril  laha," artinya sampai batas waktunya yang telah ditentukan baginya dan tidak  dapat dilampauinya. 
Menurut pendapat lain. makna yang dimaksud ialah mentari itu terus-menerus  berpindah-pindah di tempat terbitnya dalam musim panas sampai batas waktu yang  tidak lebih dari panjangnya musim panas, kemudian berpindah-pindah pula di  tempat terbitnya dalam musim dingin selama masa musim dingin tidak lebih  darinya. Pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr r.a.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas membaca firman berikut, yaitu: dan matahari  berjalan di tempat peredarannya. (Yasin: 38) Yakni tidak pernah menetap dan  tidak pernah diam. bahkan ia selalu berjalan siang dan malam tanpa henti dan  tanpa istirahat. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain  melalui firman-Nya: Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari  dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya). (Ibrahim: 33) Yakni  tiada henti-hentinya terus bergerak sampai hari kiamat nanti. 
***********
{ذَلِكَ  تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ}
Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa. (Yasin: 38)
Yaitu Tuhan Yang tidak dapat ditentang dan tidak dapat dicegah. 
{الْعَلِيم}
lagi Maha Mengetahui. (Yasin: 38)
yakni Maha Mengetahui semua gerakan dan semua yang diam. Dia telah menetapkan  ukuran bagi hal tersebut dan membatasinya dengan waktu sesuai dengan apa yang  telah digariskanNya, tidak ada penyimpangan, tidak ada pula benturan.  Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{فَالِقُ  الإصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ  تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan  (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah  Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am: 96)
Hal yang sama disebutkan pula dalam akhir ayat 12 surat Fussilat, yaitu:
{ذَلِكَ  تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}
Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.  (Fussilat: 12)
*******
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَالْقَمَرَ  قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ}
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah. (Yasin: 39)
Yakni Kami menjadikannya beredar pada garis edar yang lain, yang melaluinya  dapat diketahui berlalunya bulan-bulan, sebagaimana melalui matahari dapat  diketahui berlalunya malam dan siang hari. Seperti apa yang disebutkan dalam  ayat lain melalui firman-Nya:
{يَسْأَلُونَكَ  عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ}
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu  adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”  (Al-Baqarah: 189)
{هُوَ  الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ  لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ} الْآيَةَ
Dialah Yang Menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan  ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan  itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (Yunus:  5), hingga akhir ayat.
Dan firman Allah Swt.:
{وَجَعَلْنَا  اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ  النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ  السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلا}
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan  tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia  dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan.  Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Al-Isra: 12)
Maka Allah menjadikan matahari mempunyai sinar yang khusus baginya dan bulan  mempunyai cahaya yang khusus baginya, dan Dia membedakan perjalanan antara  matahari dan bulan. Matahari terbit setiap hari dan tenggelam di penghujung  harinya dengan cahaya yang sama. Akan tetapi, tempat terbit dan tempat  tenggelamnya berpindah-pindah dalam musim panas dan musim dinginnya; yang  seiring dengan perbedaan musim tersebut, maka siang hari lebih panjang daripada  malam hari dalam musim panas, kemudian dalam musim dingin malam lebih panjang  ketimbang siang hari. Dan Allah menjadikan kemunculan matahari di siang hari,  maka matahari adalah bintang siang hari.
Adapun bulan, Allah telah menetapkan baginya manzilah-manzilah bagi  perjalanannya. Pada permulaan bulan ia muncul dalam bentuk yang kecil lagi  cahayanya redup, kemudian cahayanya makin bertambah pada malam yang kedua, dan  manzilahnya pun makin tinggi. Setiap kali manzilahnya bertambah tinggi, maka  cahayanya pun bertambah terang, sekalipun pada kenyataannya cahaya yang  dipancarkannya itu merupakan pantulan dari sinar matahari. Hingga pada akhirnya  cahayanya menjadi sempurna di malam yang keempat belas. Sesudah itu ia mulai  berkurang hingga akhir bulan dan bentuknya seperti tandan yang tua.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa 'urjunil qadim adalah asal mula  ketandan kurma. 
Mujahid mengatakan, 'urjunil qadim ialah ketandan yang telah kering.  
Ibnu Abbas r.a. bermaksud bahwa yang dikatakan dengan 'urjunil qadim  ialah asal mula ketandan buah kurma apabila terbuka dan kering serta  melengkung bentuknya. .
Hal yang sama dikatakan oleh selain keduanya. 
Setelah itu Allah Swt. kembali menampakkannya di permulaan bulan lainnya.  Orang-orang Arab menamakan setiap tiga malam dari satu bulan dengan nama yang  tersendiri sesuai dengan keadaan bulan. Mereka menamakan ketiga malam pertama  dengan istilah gurar, sedangkan ketiga malam berikutnya dinamakan  nufal, dan tiga malam berikutnya dinamakan tusa', karena malam  yang terakhirnya jatuh pada malam kesembilan yang kemudian disusul oleh malam  yang kesepuluh sesudahnya, yang dalam peristilahan mereka dinamakan 'usyar  (sampai malam ketiga belas). Setelah itu dinamakan malam bid, karena  di malam-malam tersebut cahaya rembulan tampak sempurna dan mencapai puncaknya.  Lalu berikutnya dinamakan dura’ bentuk jamak dari dar’a, dikatakan  demikian karena malam pertamanya gelap disebabkan keterlambatan munculnya  rembulan. Oleh karena itulah maka kambing yang bulunya hitam di kepalanya  dinamakan dar’a. Kemudian tiga malam berikutnya dinamakan zulam,  lalu berikutnya lagi dinamakan hanadis, selanjutnya da'da, dan  yang terakhir dinamakan mahaq karena lenyapnya bulan di penghujung bulan  dan mulai memasuki permulaan bulan berikutnya. Abu Ubaidah r.a. mengingkari  adanya tusa' dan 'usyar, demikianlah menurut apa yang tertulis di  dalam kitab Garibul Musannaf.
********
Firman Allah Swt.:
{لَا  الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ}
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan. (Yasin: 40)
Mujahid mengatakan bahwa matahari dan bulan masing-masing mempunyai batasan  tersendiri yang tidak dapat dilampaui oleh yang lainnya, tidak dapat pula  dikurangi oleh yang lainnya. Apabila masa kemunculan yang satu tiba, maka yang  lainnya pergi; begitu pula sebaliknya bilamana yang lainnya datang, maka yang  satunya pergi.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Al-Hasan  sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidaklah mungkin bagi matahari  mendapatkan bulan (Yasin: 40) Bahwa hal tersebut terjadi di malam munculnya  bulan sabit.
Ibnu Abu Hatim dalam bab ini telah meriwayatkan dari Abdullah ibnul Mubarak  yang mengatakan bahwa sesungguhnya angin itu mempunyai sayap, dan sesungguhnya  bulan itu beristirahat di tempat yang ditutupi oleh air.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Saleh,  bahwa makna yang dimaksud ialah cahaya yang ini tidak dapat menyusul cahaya yang  itu, demikian pula sebaliknya.
Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidaklah  mungkin bagi matahari mendapatkan bulan. (Yasin: 40) Maksudnya, matahari dan  bulan mempunyai kekuasaan tersendiri. Karena itu, tidak pantas bagi matahari  terbit di malam hari. 
******
Firman Allah Swt.:
{وَلا  اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ}
dan malam pun tidak dapat mendahului siang. (Yasin: 40)
Yakni tidaklah pantas bila malam hari, lalu berikutnya malam hari lagi,  sebelum adanya siang hari di antara keduanya; kekuasaan matahari di siang hari,  dan kekuasaan bulan di malam hari. Ad-Dahhak mengatakan bahwa malam hari tidak  akan pergi dari arah ini sebelum siang hari datang dari arah itu seraya  berisyarat menunjuk ke arah timur.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam pun tidak  dapat mendahului siang. (Yasin: 40) Keduanya saling mengejar yang lainnya  dengan waktu yang cepat dan salah satunya muncul dengan kepergian yang lainnya.  
Maka yang dimaksud ialah bahwa tidak ada tenggang waktu antara malam dan  siang hari, bahkan masing-masing dari keduanya datang menyusul kepergian yang  lainnya tanpa tenggang waktu, karena keduanya telah diperintahkan untuk  terus-menerus saling silih berganti dengan cepat. 
********
Firman Allah Swt.:
{وَكُلٌّ  فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ}
Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin: 40)
Yakni malam, siang, mentari, dan bulan, semuanya beredar di. cakrawala  langit, menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, dan Ata  Al-Khurrasani. 
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa tempat peredarannya ialah  di antara langit dan bumi; demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu  Abu Hatim, tetapi riwayat ini garib sekali, bahkan munkar.
Ibnu Abbas r.a. dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama  Salaf mengatakan dalam cakrawala seperti berputarnya alat penenun. 
Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan falak ialah perumpamaannya seperti  pengengkol alat penggilingan atau seperti pengengkol alat tenun. Alat tenun  tidak dapat berputar, melainkan dengan berputarnya alat tersebut. Begitu pula  sebaliknya, bila alat tenun berputar, maka ia pun akan ikut berputar.
Comments
Post a Comment